Home » » Rumah sakit dan matinya rasa kemanusiaan

Rumah sakit dan matinya rasa kemanusiaan

Written By Unknown on Rabu, 20 Februari 2013 | 10.57

KEMATIAN Dera Nur Anggraini, bayi pasangan Eliyas Setya Nugroho dan Lisa Darawati sangat memilukan. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan orangtua dari bayi yang belum genap satu bulan itu, harus berjuang mati-matian dan mengalami penolakan dari berbagai rumah sakit.

Kejadian ini merupakan sekelumit gambaran dari buruknya pelayanan rumah sakit di Indonesia yang dirasakan masyarakat. Dera bukanlah pasien pertama yang mengalami kesulitan akses kesehatan.

Berdasarkan catatan Okezone per Oktober 2011, setidaknya terdapat delapan kasus sulitnya warga mendapat perawatan di rumah sakit. Alasannya beragam, mulai dari si pasien hanya memiliki Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM), perbedaan administratif regional, rumah sakit tidak punya obat, tidak mendapat pertolongan pertama, ruangan penuh, hingga alat medis yang rusak dan tidak ada dokter jaga. Dampak dari sederet persoalan ini adalah si pasien harus meregang nyawa. Sebagai negara yang beradab, fenomena ini sungguh di luar rasa kemanusiaan. 

Ini tugas pemerintah, khususnya Kementerian Kesehatan, yang wajib dikerjakan dan diselesaikan. Tentunya penyelesaiannya harus dilakukan secara komprehensif.

Pertama, yang perlu disadari adalah sektor kesehatan bukanlah industri yang mengutamakan prinsip ada uang ada barang, seperti yang berlaku pada sektor ekonomi. Namun, lebih mengutamakan rasa kemanusiaan dan pelayanan, terutama kepada warga miskin yang memiliki keterbatasan akses. 

Kedua, peninjauan kembali sistem kelas pasien, jika si pasien tersebut memang dalam kondisi gawat dan kritis.

Ketiga, adanya semacam formula bagi rumah sakit pemerintah, yang mampu memberikan kesejahteraan bagi tenaga medisnya. Sehingga mereka bisa melayani dengan maksimal, rasa empati dan asas propasien. Hal ini sebenarnya sudah diterapkan terlebih dahulu di lembaga keuangan dan hukum pemerintah, berupa remunerasi.

Tidak hanya evaluasi kinerja rumah sakit dan tenaga medis, pemerintah juga harus menelisik dari sisi postur dukungan pembiayaan, yang tertuang pada APBN 2013.

Alokasi anggaran untuk meningkatkan kualitas kesehatan pada 2013 tercatat hanya Rp55,9 triliun. Kendati pemerintah mengklaim, angka tersebut telah meningkat dua kali lipat dari tahun 2007 sebesar Rp24,5 triliun, namun angka tersebut mencerminkan minimnya dukungan pemerintah.

Bandingkan dengan sektor lain, dukungan itu sangat kecil. Pada pos subsidi energi (untuk subsidi BBM dan listrik) pemerintah mengalokasikan dana Rp274,7 triliun. Jumlah itu 400 persen lebih besar di banding sektor kesehatan. Seperti diketahui, bahwa subsidi BBM lebih banyak dikonsumsi oleh kalangan mampu yang memiliki kendaraan.

Memang minimnya anggaran tidak bisa dijadikan pembenaran klasik yang sering dikeluhkan lembaga pemerintah. Tetapi, jika dana itu tidak disalahgunakan dan dijaga penuh untuk kepentingan masyarakat, maka tidak ada lagi Dera-Dera lainnya di Bumi Pertiwi ini.

Sudah saatnya warga menjadi objek pelayanan pemerintah. Apalagi jelang Pemilu 2014 seperti sekarang ini, di mana konsentrasi petinggi negara sudah mulai buyar. Problem ini sangat krusial untuk dientaskan, sehingga tidak ada lagi stigma "orang miskin dilarang sakit".

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. Dunia - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger